#cerpen
Kalimat Akhir di Dalam Mimpi
Yulia Wulansari
“hei, mau kemana?” deg, jantungku rasanya seperti
mau copot. Kalimat yang membubarkan semua usahaku. Kalimat yang kembalikan
semangatku untuk berharap. Mengharapkan lagi rasa yang dulu kau berikan. Sekali
lagi usahaku melupakanmu gagal. Lalu siapa yang salah dengan semua ini. Aku?
Ataukah kamu?. Jelas aku pastinya. Huh mengharapmu lagi, yang tentunya tak akan
mungkin kembali. Pliss tolong aku, pergi jauh dari hadapanku. Dan berpalinglah
saat melihatku karna senyummu itu sungguh telah jatuhkan percayaku. Tapi aku
sadar, aku hanya sejumput garam yang walaupun tanpa aku lautpun tetap asin,
bagimu.
“hei, kenapa diem?” suara itu lagi! membuatku lupa
lamunanku. Dengan agak gugup aku pun menjawab “eh lu, napa lu kesini. Kayak
kagak ada kerjaan aja lu”. “ahaha, lu kayak ama sapa aja. Gua pengen kali ktemu
ama lu. Napa? Kagak boleh, kalo mantan terindah lu yang kece ini kangen ama lu?”.
“jiaah, lu mah bisa aja”. “ya udah, ayo pulang. Sengaja tau gua jemput lu”
Dan akupun kembali menatapmu, dengan tatapan kosong.
Sembariku berfikir mimpikah ini. Ataukah aku yang mungkin salah mengartikan
ini. Jalanan begitu sepi, kosong dan tak
ada aktivitas seperti biasanya. Hujan, setiap hujan usai pasti sepi. Hingga
hampir tibapun tak kudengar suaramu. Aku hanya bisa menatap punggungmu.
Membuatku ingat betapa ku mencintaimu yang hanya sebatas punggungmu saja.
Mengingat masa lalu bersamamu yang begitu indah
sungguh menyenangkan. Tapi ketika sadar dengan hubungan kita kini, sangat
sakit. Sungguh harapanku hampir sirna, aku hampir lupa caranya mencintai orang
lain, bahkan dirimu. Tuhan, tolong bantu aku, harapan ini sungguh menyiksaku.
Ini semua salahku, semua salahku, sungguh aku benar – benar bersalah.
Lima tahun lalu, di masa putih abu – abu yang sangat
menggembirakan, kutemukan dia. Dia yang dengan senyumnya dapat tumbuhkan
semangatku. Dia yang dengan sapanya membuatku bahagia kian hari. Dia yang
dengan tatapannya membuatku lupa segalanya. Dan dia yang semua tingkahnya
selalu membuatku ingat betapa aku mencintainya.
Cinta yang dengannya menjadikanku menjadi lebih baik
dan membuatku merubah segala sifat burukku. Tapi dengan cinta yang ku pendam
sungguh aneh. Aku seperti orang gila, betapa tidak. Setiap hari, walau hanya
dengan kata “hai” yang kau lontarkan untukku rasanya kau memberikan rasa yang
sama. Tapi tidak ketika kau bersama dengannya, sakit memang tapi mau apalagi.
Siapa aku? Aku juga tau diri, apa aku untukmu.
Mungkin aku hanya seekor hama pada tanaman. Yang
mungkin akan kau semprot dengan pestisida dan akupun akan menghilang dari
hidupmu. Setiap hari aku merasa sakit hati, kau dapat dengan mudah berbicara
seenaknya dengan wanita lain. Sungguh, ingin rasanya aku memenjarakanmu hingga
tiada satupun yang dapat bicara denganmu. Aku cemburu, aku sakit, ingin sekali
aku memarahimu. Namun, jangankan memarahimu. Untuk mendekatimu dan bertanya
namamu saja aku takut. Payah memang, aku hanya mencintaimu dalam diam. Ya,
dengan diam saja aku telah bahagia.
Entah apa yang terjadi, saat senja mulai berwarna
jingga. Tiba – tiba ia menyapaku dan menanyakan siapa namaku. Oh Tuhan, sungguh
aku merasa dunia ada pada genggamanku. Dan di akhir perkenalan ini. Untuk
pertama kalinya ia mengantarkan aku pulang. Ya, Tuhan bila ini mimpi tolong
jangan bangunkan aku.
Hampir setiap hari ia mengantarku berangkat dan
pulang sekolah. Hingga akhirnya mimpi dari semua mimpiku terjadi. Aku jadian
dengan dia. Sebentar memang hanya 2 minggu, ketika aku tau. Aku hanya sebuah
permainan di antara berbagai permainan untuknya. Aku mungkin sebuah harta karun
yang di perebutkan dia dan teman – temannya. Ya, aku hanya sebuah taruhan.
Sakit pastinya, kitapun putus.
Meski tanpa hubungan kita tetap berteman meski
perasaanku ini sangat sakit. Untuk kedua kalinya kita memperbaiki hubungan yang
telah hancur. Lagi – lagi tidak lama hanya 9 hari. Lucu memang, hubunganku
dengannya tidak bertahan lama. Ini bukan karena aku dijadikan taruhan lagi.
Tapi karena perjodohannya dengan sahabatku.
Sakit yang kurasakanpun menjadi – jadi, hatiku pun
hancur, bahkan akupun hampir merenggut nyawa dengan belati. Sudahlah, aku
mencoba ikhlas. Beribu – ribu cara sudah aku lakukan. Dan itu hampir membuatku
lupa padamu, mungkin tinggal selangkah. Tapi, hadirmu dan suaramu yang masuk ke
telingaku telah membuat semuanya berantakkan. Yang seharusnya satu langkah lagi
aku berhasil, aku malah mundur sejuta langkah.
Dan kau menemuiku lagi hanya untuk mengucapkan
“tolong, lupakan aku. Aku mencintaimu. Dan akupun tau kaupun juga mencintaiku.
Berjanjilah kau akan membuangku jauh – jauh dalam hidup dan di dalam hatimu.
Cintaku akan abadi selamanya. Bahkan ketika maut datang aku akan menemuimu
untuk terakhir kalinya dan mengucapkan selamat tinggal untukmu. Selamat tinggal
kasihku mantan terindah dalam hidupku”.
Kring kring kring, suara telepon membangunkanku dari
mimpi. Dengan malas aku ambil telepon dan melihat nama yang tertera Nanda
akupun berbicara lirih. Ternyata aku hanya memimpikan dia calon suami Nanda
sahabatku. Akupun mengangkat telepon “hallo, ada apa nda pagi – pagi telepon.
Penting banget kayaknya”. “Li, Ari li”. “ya, nda ada apa dengan Ari”. “Ari li,
2 jam lalu. Dia pergi”. “nah lo, pergi aja curhat ke gua. Emang pergi kemana”.
“dia pergi, nemuin Tuhan”, ucapnya dengan suara tangis yang sangat keras.
Akupun lemas dan menjatuhkan telepon, sembari
mengingat mimpi semalam.
Yulia Wulansari, lahir di Jombang 3 juli 1998 di
sebuah keluarga kecil yang sederhana. Hobi membaca dan menulis.